Setiap orang adalah teka-teki, kamu
adalah sebuah puzzle, tidak hanya
untuk dirimu sendiri, tetapi untuk orang lain, dan misteri besar di zaman kita,
adalah bagaimana kita menembus puzzle
(teka-teki) itu. Ada seseorang merasa ditinggalkan padahal dia meninggalkan.
Merasa dibuang padahal dia yang tak mau mempertahankan. Merasa tak dianggap,
padahal dia yang duluan hilang.
Namaku Freya, aku punya sabahat yang
mengaku dirinya sedang depresi. Iya benar. Mental
illness atau yang biasa disebut dengan depresi adalah suatu kondisi berupa
perasaan sedih yang berdampak negatif terhadap pikiran, tindakan, perasaan, dan
kesehatan mental seseorang. Aku masih tidak paham kenapa Levi bisa menyebut
dirinya sedang depresi, selalu bersikap dan berperasaan layaknya orang depresi.
Apa Levi benar-benar depresi? Tapi kenapa dia bisa depresi? Dalam laut bisa
diduga, dalam hati siapa tahu.
Aku dan Levi kenal dan bersahabat
sejak SMA kelas 11, duduk sebangku kemana-mana bersama. Kami saling bercerita
bila ada masalah satu sama lain dan Levi adalah tipikal overthinking
dalam menyikapi sesuatu, terkadang dia berangkat sekolah seperti zombie,
tanpa ekspresi, mata sembab, mata panda, bicara dan sekali-kali menjawab
pertanyaan seperti orang melamun atau lebih mirip orang kesetanan. Sampai-sampai aku berpikiran
konyol, apakah Levi perlu untuk diruqyah? Apa Levi diganggu jin atau
semacamnya? Terlalu banyak pertanyaan untuk keadaan Levi. Tapi yang namanya
depresi memang tidak boleh dianggap remeh, kalau sudah terlampaui berat,
depresi bisa jadi lebih mematikan dari penyakit seperti kanker atau hipertensi.
Oleh karena itu aku berusaha menjadi pundak untuk Levi.
“Terlalu banyak hal yang patut disyukuri,
sampai-sampai ngga ada waktu buat depresi”
“I’m not sad, but not happy Fre”
“Just because she’s pretty that
doesn’t make you ugly”
“Allright, I’am fine, must be fine”
“Coba deh dengerin ini, lagunya skinnyfabs
happy!” Menyodorkan earphone
Living all alone
kinda forgot it’s been that long
Since someone’s
gone I’ve been trying to be a little bit strong
And it is not that
easy to be exactly who I was
My shit is done,
now it’s time for me try to moving on
‘Cuz if you think
I’m such a happy person, no you are wrong
By saying my
laughter is louder than yours
Shut your freakin’
mouth
No one knows what
I feel and what I suffer, no they don’t know
So keep your
thoughts and stop assuming that
Someone is always
fine
Merengkuh malam dingin menusuk tulang
bersamaan dengan notifikasi pesan
dari Levi yang sedang menangis tersedu entah karena apa dia hanya bilang
capek!. begitulah Levi menangis tanpa sebab, senang menyalahkan diri sendiri
padahal bukan dia yang sejatinya salah. Dia bertanya padaku, bertahan sendirian
seperti sekarang ini hal yang benar kan? Dia merasa flat kesemua orang, jangankan ketawa, mau senyum aja rasanya malas,
seperti ada yang dipikirkan tapi tidak tau apa, sedih tapi tidak tau kenapa,
mau cerita aja bingung apa yang harus diceritaiin. Aku hanya bilang bahwa aku
selalu ada buat dia, mendengarkan ceritanya, agar dia berani mengambil
keputusan untuk beranjak dari apa pun yang hanya mampu memberi rasa sakit dan
aku yakin dia mampu berjuang melawan depresinya, bisa merasakan bagaimana
bahagia itu berasal dari diri sendiri bukan didapat dari orang lain. Tidak mengambing hitamkan masalah sebagai alasan
tidak bahagia tapi menjadikan masalah untuk lebih berjuang mengejar kebahagian
yang sesungguhnya. Bahagia itu sederhana katanya tapi faktanya masih banyak
orang yang tidak bahagia.
Tidak terasa 1 tahun lebih aku
sebangku dengan Levi, kelas 12 SMA yang super sibuk menanti dengan berbagai rentetan ujian. Senin
ini kelasku mendapat jadwal ujian praktek biologi dan kimia aku dan Levi pergi
kekantin sebelum ujian dimulai bersama Elsa dan Dian. Sembari mengisi perut kami
belajar bersama hafalan nama-nama rangka manusia menggunakan bahasa latin. Aku
dan Dian sibuk menghafal, Elsa yang menyimaknya jika-jika ada yang keliru. Dian
memiliki sifat yang blak-blakan,
tidak suka kalau diganggu ditambah hari ini Dian sedang menstruasi sepertinya
singa sedang ganas-ganasnya. Tidak seperti aku, Dian dan Elsa yang fokus
hafalan, Levi asik sendiri bermain handphone
sesekali hafalan sendiri dengan suara keras.
Tiba-tiba Levi menyela setiap hafalan
dan mendahului, ikut-ikut menghafal tapi tidak sinkron, kadang berisik
nyanyi-nyanyi lagu k-pop kesukaannya.
Tapi entah ada angin apa atmosfer
menjadi serius, Dian yang konsentrasinya terpecah memperingati Levi untuk diam
dan tidak mengganggu. Bukan Levi namanya kalau bisa diam begitu saja, dia tetap
bernyanyi dan menyela padahal apa yang dimaksud Levi sama saja dengan apa yang
aku dan Dian katakan. Memang suatu kesabaran ada batasnya, karena emosi Dian
meneriaki Levi dengan keras agar diam dan tidak mengganggu orang lain. Begitupun
aku dan Elsa yang angkat bicara agar Levi tidak membuyarkan konsentrasi lebih
baik hafalan sendiri pelan-pelan sambil dibuat nada lagu k-pop jika ingin sekalian menyanyi. Aku, Elsa dan Dian memarahi
Levi dengan lelucon seperti biasa tapi entah kenapa Levi bungkam dan murung
setelah itu, bahkan diajak bicara saja tidak fokus seperti orang yang
kebingungan.
Keesokan harinya Levi lebih suka diam
dan menyendiri di tengah keramaian dia terlihat kesepian. Ada apa dengan Levi?
Apa dia lagi berpikir keras untuk ujian praktek? Apa ia ingin sefokus itu?
Sampai tidak pernah mengajakku bicara, diajak bicara seperti orang bodoh
ditanya juga enggan menjawab. Aku merasa ada yang aneh dengan Levi sejak
kejadian di kantin kemarin chatpun ia cuek denganku. Apa ada kesalahan yang aku
dan teman-teman lakukan kemarin? Tapi kemarin biasa cuma bercanda kan? Sudah
biasakan? Levi juga sering meneriakiku dan yang lainnya kalau dia marah. Aku
khawatir, apa aku melakukan kesalahan sampai Levi berubah jadi zombie lagi, akhirnya aku bertanya pada
Elsa dan Dian apakah kita kemarin melakukan kesalahan? Kata mereka tidak ada
masalah dengan kejadian kemarin, mata hatiku berfikir lain.
Manusia selalu ingin lari dari
kenyataan, meninggalkan pahitnya dunia dan melupakan rasa sakit mengalihkan
pada hal-hal yang sering kali tidak berguna. Manusia menganggap sepele sebuah
kejadian, karena nyatanya hidup tidak pernah semanis karya fiksi. Malam harinya
aku coba untuk mengirim pesan pada Levi menanyakan keadaannya, dia hanya bilang
kalau sepertinya dia lagi kambuh, benar. hati dan logikanya sedang tak sejalan,
rasanya sulit untuk berpikir jernih, seperti ada pisau ditangannya yang siap
untuk menusuk dirinya ia ingin melepaskan pisau itu, ingin melepaskan bebannya
tapi susah begitulah kata Levi. Aku semakin gusar apa Levi begitu gara-gara aku?
rasanya dia mulai begitu sejak kejadian dikantin tapi kenapa? apa salahku?.
Bulan seakan ikut bersedih Levi menangis
memikirkan semua kesalahan yang ia lakukan dan terus menyalahkan dirinya.
Mendoktrin dirinya tak berguna, tak bisa apa-apa, dirinya yang aneh, tidak ada
yang mau berteman dengannya seakan semua mata panah akan menusuk dirinya. Aku mencoba
menggali kenapa dia begitu, bertanya apakah masalah di kantin yang membuat dia
seperti ini jawabnya hanya entahlah, lalu bagaimana aku mencari kebenaran?
“Vi kamu marah sama aku?”
“Enggak Fre,” jawabnnya sembari
tersenyum hambar
“Aku minta maaf kalau aku salah tidak
apa-apa kamu cerita saja ke aku kalau ada masalah, ada kalanya kita harus
menghadapi ketakutan terbesar kita agar kita bisa melangkah maju”
“iyaa Fre makasih”
Setiap malam aku selalu memberi
semangat Levi agar lebih mencintai diri sendiri, tidak mengorbankan perasaan
karena membahagiakan orang lain, karena jika terlalu mudah orang lain akan
tidak peduli bahwa kita terus tersakiti. Menjadikan prioritas diri sendiri itu
penting. Mencintai diri sendiri itu harus, bukan egois itu hak kita untuk
bahagia. Levi selalu bilang semua orang yang dekat dengannya akan menghilang
karena tidak suka dengan dirinya kenapa berpikir seperti itu? bukankah semua
orang itu sama diciptakan dengan sempurna kita harusnya bersyukur, mungkin kita
bisa menilai tapi yang pantas menilai hanya Allah Swt. Jadi jangan mendengar
orang lain yang menjelekkanmu, itu yang selalu aku ingatkan pada Levi.
Levi masih seperti zombie, tidak memiliki semangat
melakukan sesuatu. Aku terus meyakinkan dia agar mau cerita karena masalah yang
terus-terusan dipendam sendiri, lama-lama bisa jadi penyakit dan terpenting agar
dia tidak menyiksa kebahagiannya. Akhirnya Levi angkat bicara kepadaku bahwa sepertinya
memang benar dia seperti ini gara-gara kejadian di kantin sewaktu ujian praktek,
dia bilang sangat tertekan rasanya seperti dicekik dilempari sesuatu seluruh
badannya sakit saat mendengar teriakan itu dia tidak suka diteriaki rasanya
seperti tubuhnya lemas, takut, telinganya ingin dia tutup rapat-rapat. Dia
berkata saat itu rasanya dia menjadi orang yang paling patut disalahkan, tidak
berguna, bikin susah dan tidak memberi kenyamanan untuk orang lain. Dia terus
menangis karena menyalahkan diri sendiri merasa bahwa tidak pantas untuk
bahagia.
Apa menurutmu kebahagiaan akan
terkabul dengan hanya berharap pada bintang-bintang? alih-alih kita akan
mendapatkan kesedihan yang akhirnya akan menjatuhkan kita kedalam kata yang
disebut kecewa. Bicaralah saat orang mau mendengarkan dan diamlah ketika orang lain
tak ingin mendengar, ingin memperjuangkan suara tapi kalau bersuara sudah tidak
didengar apa gunanya?. Kuatlah dalam berjuang apapun itu karena semua tidak
akan datang jika tidak diperjuangkan. Semua orang memiliki hak untuk bahagia,
punya waktu sendiri untuk bahagia, tidak ada orang di dunia ini yang tidak bisa
bahagia semua tergantung perjuangan masing-masing bagaimana memperoleh sebuah kata
bahagia. Perjuangan itu sulit, perjuangan itu proses, perjuangan itu indah. Bahagia
itu sederhana cukup yakin dengan diri sendiri, apa yang dimiliki dan apa yang
dilakukan.
Hari ini sudahkah kamu tersenyum bahagia?
Jika belum, bolehkah aku meminta senyummu?
Aku hanya ingin memberitahu, bahwa untuk
tersenyum tidak perlu menunggu bahagia dulu.
Justru dengan terssenyum, bahagia akan hadir.
Penulis: Amira
Setiyani
Lahir Ponorogo. Mahasiswa Universitas Negeri Malang
jurusan Fisika tahun angkatan 2019. Menyukai karya tulis sejak SMP. Inspirasinya
dari seorang sahabat yang selalu mengajak bersajak setiap hari.
0 Komentar