Kita lagi hidup di masa di mana kebenaran bisa kalah sama suara terbanyak. Lucunya zaman sekarang, orang bisa salah tapi justru dibela, dan yang benar malah disalahkan. Kita melihatnya jelas dari dua kasus yang baru-baru ini, kasus bullying terhadap Alm. Timothy Anugerah Saputra dan kasus murid SMAN di Banten. Dalam kasus Timothy, tragisnya bahkan setelah ia memilih mengakhiri hidupnya karena tak kuat menanggung tekanan dan perundungan, ejekan itu belum juga berhenti. Ia masih menjadi bahan olok-olokan oleh teman-temannya seolah kematiannya pun layak dijadikan hiburan. Sementara dalam kasus guru SMK, tindakan disiplin yang mungkin memang keliru dalam cara, justru membuat sang guru disalahkan, sementara murid yang melanggar aturan malah dibela ramai-ramai. Dua peristiwa ini bukan sekadar masalah biasa, tapi gejala sosial yang jauh lebih serius, tanda bahwa kita sedang hidup di tengah masyarakat yang perlahan menormalkan penyimpangan.
Fenomena seperti ini dalam sosiologi disebut “normalisasi deviasi”. Istilah ini diperkenalkan oleh sosiolog Diane Vaughan (1996) dalam studi tragedi pesawat ulang-alik Challenger. Waktu itu, para insinyur tahu ada kerusakan kecil, tapi karena sering terjadi dan tak langsung menimbulkan bahaya, akhirnya dianggap normal. Dalam kehidupan sosial kita perilaku yang menyimpang dari norma moral atau sosial terus dibiarkan, lama-lama dianggap “wajar”. Seperti mata yang terbiasa di ruangan gelap, kita jadi lupa seperti apa terang seharusnya. Jika dulu salah dianggap salah, kini salah hanya dianggap masalah kalau ketahuan.
Kedua kasus tadi menggambarkan bentuk nyata dari normalisasi deviasi. Pada kasus Timothy, Pelaku seolah tidak merasa bersalah karena tindakan itu dianggap “candaan” tanda bahwa empati sosial mulai tumpul. Di sisi lain, kasus guru SMK menunjukkan dilema moral yang tak kalah rumit, memukul murid jelas bukan tindakan yang bisa dibenarkan (termasuk pelanggaran norma internal sekolah dan kesejahteraan murid). Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana murid lainnya kemudian membela murid yang salah hanya karena merasa guru bersikap kasar. Kita sedang berada di masa ketika kebenaran dan kesalahan tidak lagi diukur dari nilai moral, melainkan dari siapa yang lebih banyak mendapat dukungan.
Di sinilah akar persoalannya. kita sering membenarkan yang salah hanya karena dilakukan oleh banyak orang. Dalam psikologi sosial, ini adalah bentuk konformitas sosial, dimana dorongan untuk menyesuaikan diri agar diterima kelompok. Ditambah lagi dengan fenomena post-truth, dimana emosi lebih dipercaya daripada fakta, maka jadilah dunia yang aneh, yang viral dianggap benar, yang sunyi dianggap salah. Manusia lebih takut berbeda daripada takut salah. Akibatnya, nilai benar dan salah berubah menjadi hasil voting sosial, bukan hasil refleksi moral. Di media sosial, siapa yang paling ramai membela diri, dialah yang tampak “benar” di mata public, meski kenyataannya jelas tak sesimpel itu.
Sebagai mahasiswa, generasi yang disebut “agent of change” kita tidak bisa diam melihat budaya seperti ini berkembang. Ada tiga hal yang perlu kita lakukan. Pertama, berani bersikap kritis terhadap kebiasaan yang salah, bahkan jika itu berarti melawan arus. Kedua, menghilangkan kebiasaan ikut-ikutan, membenarkan teman karena solidaritas, atau menertawakan kesalahan orang lain. Ketiga, mengubah cara pandang kita terhadap kebenaran. Benar tetap benar, meski sendirian, salah tetap salah, meski dilakukan bersama-sama. Mahasiswa harus mulai menanamkan empati, berpikir rasional, dan punya keberanian moral. Perubahan besar sering dimulai dari keberanian satu orang untuk berkata, “Ini salah, dan aku tidak akan ikut.”
Normalisasi deviasi bukan hanya membuat masyarakat permisif, tapi juga menghancurkan fondasi moral dari dalam. Dalam jangka panjang, ia melahirkan generasi yang pandai membenarkan kesalahan, tapi malu mengakui kebenaran. Secara moral, batas antara benar dan salah kabur. Secara kesehatan mental, korban kekerasan seperti bullying merasa bersalah, sementara pelaku kehilangan rasa bersalah. Secara budaya, empati tergantikan oleh egoisme kolektif. Secara pendidikan, karakter dan integritas melemah nilai akademik tinggi, tapi nilai kemanusiaan menurun. Jika hal ini terus berlanjut, kita akan membentuk masyarakat yang terbiasa hidup tanpa rasa bersalah; generasi yang tahu apa itu benar, tapi memilih yang salah karena lebih mudah diterima.
Normalisasi deviasi adalah penyakit sosial yang diam-diam tumbuh dari pembiaran kecil. Ia berawal dari satu kalimat sederhana: “Ah, nggak apa-apa, semua juga begitu.” Padahal dari sanalah kebusukan moral mulai berakar. Masalah ini serius karena tanpa rasa salah, manusia kehilangan arah moralnya. Solusinya bukan teori rumit, tapi tindakan sederhana mulai dari diri sendiri. Berhenti menertawakan yang salah, mulai menegur dengan cara benar, dan berani berkata “tidak” pada hal yang keliru. Karena perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kecil. Jadi, pertanyaannya sekarang: kita mau tetap diam dan terbiasa dengan yang salah, atau mulai menjadi suara kecil untuk hal yang benar?
Penulis: Aditya Dwi Setyawan, 27 Oktober 2025


0 Komentar