Oleh: Aliyul Murtadlo[1]
Bila kita berbicara mengenai Ahlussunnah Wal Jama’ah
(Aswaja) pembeicaraan tidak berhenati sak lek hanya itu-itu saja.
Bahasan Aswaja bergantung kepada kita memandang dari sisi mana terlebih dahulu.
Yang telah sering dikaji oleh beberapa organisasi keislaman, baik masyarakat,
kesiswaan, atau kemahasiswaan tidak lepas dari sudut pandang sejarah. Padahal
aswaja tidak hanya dilihat dari sejarah, kemudian baimana kita merefleksikan
diri sendiri. Kita dapat memandang aswaja dari berbagai prespektif, yaitu:
1. Tinjauan historis
Tinjauan historis memandang aswaja sebagai bagian dari
sejarah beserta tokoh-tokoh yang berperan penting di dalamnya. Tinjauan
historis tidak lepas dari kehidupan Rasulullulah SAW, peristiwa berdarah saat Kholifah
Ar-Rosyidun, peristiwa penguatan teologi Mu’tazilah pada masa dinasti Muawiyah
dan Abbasyiyyah dan akhirnya Mu’tazilah runtuh pada massa Abbasyiyyah
2. Substantif
Tinjauan substantif lebih menekankan pada konten dari
ajaran Aswaja Itu sendiri. Bagaimana bertauhid, mengenal Allah dan syifatnya
yang harus diimani, shifat Rasulullah dan malaikat. Tata cara Bertuhid seperti
ini diberi nama ilmu Tauhid. Bagaimana melakukan kegiatan praktis di kehidupan
sehari-hari baik dalam ibadah maupun muamalah. Tata caa ini diatur dalam ilmu
fiqih. Dalam pendekatan subtantif,\ juga mengatur bagaimana menyucikan diri,
menata hati, pendekatan diri denga Ilahi, dan hakikat berperilaku yang
keseluruhannya itu ditata dalam ilmu tasawuf.
3. Tinjauan ideologis/paradigmatis
Dari sini menawaarkan konsp bahwa aswaja adalah sebuah
cita-cita dari ide bersama (ideologis). Selain itu juga merupakan paradigma (cara
berfikir) bagi yang mneggunakannya. Secara ideologis, Aswaja yang diwarkan oleh
salah satu ormas sebagai jalan tengah (tawasuth). Saat tawasuth ini
dijadikan pedoman, maka terdapat konsekuensi yang tidak dapat dipisahkan
dengannya yaitu tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan ta’addul
(bersikap adil)
Aswaja dalam teori selalu menisbatkan Teologi kepada Abu
Hasan Al-As’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Tetapi seringkali yang dijadikan
tonggak sejarah dengan cerita yang fenomenal adalah cerita Abu Hasan Al-Asy’ari
yang awalnya merupakan tokah ulama’ mu’tazilah pada awalnya. Anggapan Aswaja
seperi ini dipahami dalam Aswaja dari prespektif sejarah (Tinjauan historis)
Ketika berbicara secara tinjauan historis, pembicaraan
mengenai Ahlussunnah Waljama’ah ada tahap periodisasi. Periodisasi tersebut
mencakup massa Islam Kaffah Rasulullah SAW, masa Kholifatur Rosyidin, Dinasti
Umayyah, Dinas Abbasyiyyah, dan Turki Utsmani. Poin tambahan jika dihubungkan
dengan keadaan Indonesia maka ada periodisasi Islam Indonesia.
1. Islam Kaffah Rasulullah SAW
Islam jaman Rasulullah telah jauh berbeda dengan masa
sekarang. Jika umat semasa Nabiy Munahammad SAW mempunyai uswatun hasanah
secara lengkap. Beliau merupakan murobbi jasmani dan ruhani ummat. Rasulullah
berhasil meredam seluruh perbedaan antr golongan dalam kesukuan masyarakat
Islam. Menjunjung tinggi nilai kebersamaan (mungkin sekarang dapat dikatakan
nilai humanisme) umat. Mempersaudarakan muslim Muhajirin dan Anshor. Membuat
perdamaian dengan orang kafir dengan piagam madinah sebagai tata kelola
kehidupan antar golongan dan antar umat beragama.
2. Kholifatur Rosyidin,
Kajian Aswaja kadang konsen dengan munculnya
golongan-golongan pasca Rasulullah wafat. Golongan tersebut muncul dengan
asalan kesukuan atau dengan alasan dukungan terhadap calon Kholifah yang ia
dukung.
3. Dinasti Umayyah,
Pada masa ini muncul sekte Syiah yang awalnya sebagai
gerakan politik, berkembang ke arah pemikiran. Apa akhir masa-masa akhir
Dinasti Umayyah muculnya paham Al-Mu’tazilah.
4. Dinasti Abbasyiyyah,
Apa masa akhir Dinasti Umayyah paham Al-Mu’tazilah
berkembang subur, banyak para ulama’ yang berpaham Almu’tazilah, termasuk Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari. Aswaja yang kita terima, tidak jauh dari sejarah mengenai
pertikaian pemahaman Teologi Abu Al-Hasan Al-Asy’ari pada jaman dahulu kala
ketikan Al-Mu’tazilah melakukan al-mihnah kepada para ulama yang
menentang pahamnya. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari yang berbalik arah mendapat
dukungan dari umat. Sedangkan Al-Mu’tazilah kurang begitu disukai karena trauma
terhadap peristiwa al-mihnah[2].
5. Turki Utsmani
Masa-turki Usmani muncul tabrakan dengan kemodernitas
barat. Tabrakan ini membuat adanya hasil yang berbeda-beda. Pasca keruntuhan
muncul gerakan Pan-Islamisme yang cenderung Fundamentalis dan menetang
kemodernitasan dan ada yang mengakomodasi kemodernitasan seperti Mustafa Kemal
Pasha.
6. Islam Indonesia
Berbicara Aswaja di Indonesia, berbicara mengenai madzhab
mayoritas masyarakat Islam Indonesia. Kontruksi madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
di Indonesia telah terbentuk pada masa lampau, masa munculnya Kerajaan Samudra
Pasai dan tumbuh subur pasca keruntuhan kejayaan Majapahit. Ahlussunnah wal
Jama’ah di kodifikasi oleh Ulama’ di Indonesia. Ulama’ di Indonesia yang
tergabung dalam Jam’iyyah Nahdlotul Ulama
mengkodifikasi bahwa Ahlussunnah Waljamaah adalah mereka yang mengikuti
Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, Imam Ghozali dan Junaid Al-Baghdadi dalam
bidang tasawuf, dan mengikuti salah satu dari 4 Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam
Hambali, Imam Syafi’i dan Imam Maliki)
Kajian terhadap Aswaja dari prespektif sejarah akan terus
relevan digunakan. Sejarah mengajari kita untuk berperilaku dan mengambil
keputusan di masa mendatang. Sejarah menjadi bahan evaluasi terhadap tatanan
masyarakat yang ada. Sejarah mengajari untuk tidak berperilaku ekstrim layaknya
Qodariyyah, Jabbariyyah, Mu’tazilah, Syiah dll. Membaca sejarah membuat
cakrawala terbuka dan tidak terjebak kepada pemikiran yang jumut dan kaku.
Secara paragdimatis,
prinsip Aswaja adalah Tawasuth, tawazun, tasamuh, dan ta’addul dapat dikembangkan kembali.
Pengembangannya dengan terus melakukan kajian terhdapa seluruh pemikiran siapa
saja yang ada di dunia ini. Pengembangan ini menjadi tugas bagi generasi muda
Aswaja. Kader PMII Ibnu Sina harus
mempelajari ilmu yang ada di internal kajian Aswaja dari kitab-kitab klasik
yang mu’tabaroh. Jika sudah selesai, kajian terhadap pemikiran baru pun menjadi
sangat penting. Karena pemikiran baru ini menjadi tantangan bagi kita.
Bagaimana dalam kontruksi pemikiran itu dapat memadukan antara yang saling
erlwanan atau meredam perbedaan dalam berpandangan.
Semangat melakukan kajian ini yang menjadi dasar untuk
terus melakukan ijtihadnya sesuai dengan masanya. Kader PMII Ibnu Sina menjadi pelopor pemersatu, pendorong,
pendokrak pintu ijtihad. Jika sudah tuntas dengan semua kitab klasik yang
mu’tabaroh, silahkan untuk mengembangan pemikiran Nitsche, Karl Mark, tau
filsafat barat yang lain. Jika sudah ada bekal yang cukup (dari kajian agama)
akan mampu untuk menyerap dan memadukan dengan kajian kitab agama dan realita
di zaman ini. Sejalan dengan baitul hikmah di jaman Abbasyiyah, yang mampu
menjadi pusat kajian Islam, dan Ilmu barat, sehingga menambah keilmuan
masyarakat muslim.
Gerakan untuk melakukan kajian terhadapa pemikiran
sangatlah penting untuk selalu diperbaharui. Kader PMII Ibnu Sina , generasi
yang meyakini bahwa ulama’ salaf adalah ulama’ yang dapat menjadi panutan.
Keistiqomahan para ulama tidak tertandingi oleh massa setelahnya. Dan generasi
baru sebagai pencerah dan pemberi solusi yang berembang pada zamannya.
0 Komentar