Sekarang ini
banyak sekali kelompok-kelompok Islam, hingga tak terhitung jumlahnya. Termasuk
di Indonesia. Organisasi masyarakat berbasis keislaman marak di Indonesia,
dengan cara pandang tersendiri. Sebut saja lah Muhammadiyah, NU, Ikhwanul
Muslimin, Jamaah Tabligh, Persis, dan lain-lain. Belum lagi aliran tarekat yang
tersebar di antero Indonesia, belum lagi organisasi sayap dari organisasi
masyarakat tersebut. Sangat kompleks, menunnjukkan keberagaman umat Islam itu
sendiri.
Sebelum islam
datang, masyarakat Quraisy sangat fanatik dengan kabilahnya. Kabilah Umayyah
berasal dari kalibah yang sama pula dengan Bani Hasyim. Kedua kabilah ini
berasal dari keluarga Abdul Manaf. Akan tetapi kabilah Bani Hasyim lebih
cekatan dan profesional dalam manajemen surberdaya air di Mekah, sehingga
tinggal menetap di Mekah, sedangkan Bani Umayyah hijarah ke negeri Syam untuk
mencari penghidupan yang baru. Akan tetapi, rasa rivalitas ini belum hilang.[2]
Rasulullah
membawa proyek besar, misi persatuan ummat. Nabi Muhammad berhasil menyarukan
seluruh kabilah di Jazirah Arab. Rasulullah menyatukan Bani Hasyim dan Bani
Umayyah dari mekkah. Menyatukan kaum muhajirin dan anshor, menyatukan Aush dan
Khasraj dimadinah. Persatuan ini terjaga hingga beliau wafat dan masih terjaga
hingga khlifah kedua, Umar Al-Faruq. Tetapi sebenarnya sedikit benih kesukuan,
dari umat islam yang ditengarai munculnya semboyan aimmatu minal Quraisy (para imam suku
Quraisy).
Khalifah Utsman
adalah orang yang selau memperjuangkan dakwah Rasulullah. Jika Rasul
memerintahkan seseorang untuk bershodaqoh, makan Utsman bin Affan adalah yang
pertama dalam menjalankan perintah tersebut.
Benih perpecahan khalifah Utsman muncul akibat rongrongan keluarga Bani
Umayyah yang memintanya untuk memberi kedudukan dan fasilitas kepada meraka.
Gubernur yang awalnya dipilih oleh Khalifah Umar Al-Faruq digantikan oleh orang-orang
dari keluarga Bani Umayyah.[3]
Kebijaksanaan
Utsman yang merangkul sanak keluarga ini menimbulkan rasa tidak simpatik
terhadap beliau. Para sahabat yang awalnya mendukung menjadi menjauh. Semetara
itu, muncul perasaan tidak senang di daerah-daerah, terutma di Mesir.
Penggantian Umar Bin Ash dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah membuat 500
orang bergerah ke Madinah untuk melakukan aksi protes. Sebagian riwayat ada
yang pengatakan pengepungan selama 40 hari dan Utsman tebunuh oleh demonstran.
Pengangkatan Khalifah
Ali KAW secara aklamasi langsung dibentuk, karena kandidat pemilihan oleh tim
formatur memunculkan nama Utsman Bin Affan RA dan Ali bin Abu Tholib KAW. Namun
keadaan sudah terlampau kacau. Naiknya Ali KAW di sebagai khalifah tidak
disetujui oleh dua kubu sekaligus, yaitu Thalhah bin Zubair yang didukung dari
Sayyidatina Aisyah dan dari Gubernur Damaaskus Muawiyah yang merupakan keluarga
Utsman
Tantangan
Thalhah bin Zubair berakibat terjadinya
kontak senjata dengan khalifah Ali di Irak pada tahun 656. Dukungan Aisyah
kepada Thalhah bin Zubair dalam sebagian riwayat mengataka bahwa perang jamal
dipimpin oleh Aisyah. Perang yang menumpahkan Thalhah bin Zubair ini disebut dengan perang jamal. Sedangkan
Aisyah selamat dan dikirim kembali lagi ke mekkah.
Sedangkan Muawiyah
menuntut Khalifah Ali KAW untuk mengadili pembunuh Utsman RA. Karena tidak ada
tanggapan serius dari Ali KAW, Muawiyah menuduh Ali KAW melindungi pembunuh
Khalifah Utsman. Pembangkangan Muawiyah terhadap Khalifah berakhir pada
peperangan yang disebut dengan perang Shiffin. Di dalam peperangan, pasukan
Muawiyah dipastikan kalah, akan tetapi Amr bin Al-Ash mengangkat Al-Quran dan
tombak menandakan minta berdamai. Permintaan ini membuat bingung, sehingga Abu
Musa Al-Asy’ari menjadi perwakilan dalam at-tahkim
Pasukan Ali KAW
yang menolak at-tahkim mereka keluar dari pasukan Ali KAW, dan mereka disebut
golongan Khowarij. Golongan yang mengkafirkan Ali KAW maupun Muawiyah karena
telah melakukan dosa besar berupa at-tahkim. Khowarij memiliki semboyan
utama, La hukmu illa Allah, tidak ada hukum melainkan hukum Allah, sehingga
siapapun yang tidak menggunakan hukum Allah maka akan dicap kafir. Golongan ini
yang menajadi cikal-bakal radikalisme beragama. Mereka menghalalkan pembunuhan
Muawiyan dan Ali KAW dengan alasan karena tidak menggunakan hukum Allah dalam
berperang. Sedangkah—menurut mereka—at-tahkim merupakan sutu bentuk dari
pelanggran hukum Allah.
Pasukan Ali KAW
yang setia, mereka disebut dengan Syiatu Ali atau pendukung Ali KAW. Dari
pendukungnya ada yang memuji secara berlebihan menjadi cikal bakal golongan
Syiah. Dukungan merekan terhadap Ali KAW berkaitan dengan imamah, yaitu 1)
Wafatnya Nabiy SAW , dan leterlamabatan Ali dalam membaiat Abu Bakar, 2) Kekacauan pada masa kholifah
Utsman, hingga berakhir dengan terbunuhnya beliau 3) pertempuran Shiffin
dan peristiwa at-tahkim. Tokoh Ali KAW begitu Karismatik terhadap
mereka, hingga mengagumu belaiau, dan manjadikan bahwa konse imamah menjadi hal
ushul, bukan hal yang furu’.
Akhirnya Ali
KAW terbunuhnya di tangan umat muslim. Ditangan seorang yang ahli al-qur’an
dari Khowarij. Dari sini terlihat bahwa umat Islam sangat perlu menjaga akidah
supaya tidak terlalu ekstrim ke kanan atau ke kiri, ke atas atau bawah.
Integritas antara hati dan pikiran selalu berirama dalam menjalin kebersamaan
berukhuwah. Ukhuwah islamiyyah, ukhuwah wathoniyyah.
Refleksi umat
Islam melihat kenyataan tersebut sangat miris. Perpecahan yang timbul akan
menjadi lebih besar umat Islam saat ini apabila saling tidak dapat menurunkan
ego. Sudahlah, jangan terlalu untuk berambisi membesarkan golongannya sendiri.
Niatkan untuk mengangkat harkat dan martabat umat Islam yang lillahi ta’ala.
Umat ini memang diciptakan berbeda oleh Allah, tujuannya adalah lita’arofu.
Rumusan yang paling baik bagaimana kita betenggang rasa, toleransi antar
pendapat dalam Islam. Lebih jauh lagi berdialektika, dan bersama-sama membentuk
‘Izzul Islam wal muslimin.
Jargon ‘berdiri
di atas dan untuk semua golongan’ menjadi relevan untuk memperjuangkan
sinergisitas umat Islam. Apalagi kita yang dididik oleh orang yang berbeda,
guru yang berbeda, syaikh yang berbeda, kyai yang berbeda, murobbi yang
berbeda, musyrif yang berbeda, wong sahabat saja yang dididik langsung
oleh Rasulullah sendiri berbeda pendapat kok.
Adalah benar
jika kita menggaungkan syari’at, adalah benar jika menggemakan hakikat,
adalah benar jika memilih thoriqot. Sinergisitas harus dibangun dalam
rangka dakwah Islam. Mengajari orang yang Islam KTP ke arah lebih taat, menjadi
sholat lima waktu. Mendo’akan dan menasehati orang maksiat agar taubat.
Meberikan pencerahan di daerah terpencil yang belum kenal agama. Memberi
shodaqoh, zakat dan donasi sosial ke orang yang membutuhkan. Karena bila kita
konsen di perbedaan pendapat, maka kita akan sulit bergerak di ranah-ranah
dakwah yang sebenarnya menjadi tugas yang lebih urgent dari
mempersoalkan perbedaan pendapat.
0 Komentar