Peristiwa G30S 1965 adalah salah satu tragedi besar bangsa. Malam itu, enam jenderal dan satu perwira TNI Angkatan Darat diculik serta dibunuh oleh pasukan yang menamakan diri “Gerakan 30 September.” Setelah itu, PKI dituduh sebagai dalang, dan penumpasan dilakukan secara besar-besaran. Diperkirakan antara 500 ribu hingga 1 juta orang menjadi korban pembunuhan, banyak di antaranya rakyat biasa yang bahkan tidak tahu-menahu (gramedia.com). Sejak itu, Indonesia memasuki era baru, Orde Baru di bawah Soeharto.
Yang sering dilupakan adalah bahwa G30S bukan hanya soal “siapa yang salah,” tapi soal bagaimana politik yang penuh curiga, perebutan kuasa, dan propaganda bisa membuat rakyat menjadi korban. Narasi resmi dikunci, sejarah dipersempit, dan luka korban jarang diakui. Ini jadi pelajaran penting, ketika politik dikuasai elite dan rakyat dibisukan, maka yang lahir bukan keadilan, melainkan tragedi.
Di balik perdebatan soal siapa dalang G30S, ada satu hal yang sering terabaikan, suara korban. Ratusan ribu keluarga hidup dalam stigma sebagai “bekas tapol” selama puluhan tahun. Banyak yang kehilangan akses pekerjaan, pendidikan, bahkan hak sipil. Luka itu diwariskan ke anak cucu, sementara negara jarang memberi ruang untuk pemulihan. Tragedi politik selalu punya wajah kemanusiaan yang tak boleh dilupakan.
Kalau kita lihat kondisi sekarang, polanya tidak sepenuhnya hilang. Memang tidak ada lagi penculikan jenderal, tapi politik masih kerap dikuasai perebutan kepentingan. Polarisasi, kampanye hitam, buzzer politik, hingga banjir informasi simpang siur di media sosial, semua itu mengingatkan kita bahwa propaganda tidak pernah benar-benar pergi, hanya berubah wajah. Pada akhirnya penggunaan buzzer politik telah berkembang menjadi industri yang terorganisir dalam membentuk opini publik (m-radarnews.com). Demokrasi memang ada, tapi sering terasa sempit ketika suara rakyat kalah oleh suara modal.
Di titik ini, peran mahasiswa kembali penting. Sejarah sudah mencatat, setelah G30S mahasiswa turun ke jalan menuntut perubahan. Tahun 1998, mahasiswa kembali hadir dan berhasil meruntuhkan Orde Baru. Kini, tantangannya berbeda, melawan politik uang, menjaga demokrasi dari cengkeraman oligarki, serta membantu masyarakat memilah kebenaran di tengah arus disinformasi.
Pesan dari G30S jelas, jangan sampai bangsa ini kembali mengorbankan rakyat demi nafsu politik. Dan mahasiswa, dengan idealismenya, punya tugas moral untuk jadi pengingat. Menjadi kritis bukan hanya turun ke jalan, tapi juga hadir di ruang publik, melawan hoaks, memperjuangkan kebijakan yang adil, dan memastikan suara rakyat tidak lagi berhenti di jalanan, tapi benar-benar sampai ke meja kekuasaan.
Melupakan berarti mengulang. Maka, belajar dari G30S bukan pilihan, tapi kewajiban.
0 Komentar