“Apakah suara rakyat hanya akan berhenti sebagai gema di jalanan, atau benar-benar menjadi arah baru bagi bangsa ini?” Pertanyaan itu kini menghantui banyak orang setelah euforia aksi Agustus 2025 mereda. Ribuan mahasiswa, buruh, dan masyarakat waktu itu turun ke jalan membawa tuntutan yang mereka rangkum dalam 17+8 Tuntutan Rakyat. Sebuah dokumen moral yang lahir dari keresahan sekaligus harapan, bahwa negara seharusnya hadir lebih nyata di tengah beratnya hidup rakyat.
Angka 17 merujuk pada tuntutan jangka pendek yang diharapkan segera dijawab, mulai dari penghentian kekerasan aparat, pembebasan demonstran yang ditahan, evaluasi fasilitas DPR, hingga desakan agar TNI kembali ke barak dan tidak lagi mengurusi urusan sipil. Sementara angka 8 berisi tuntutan jangka panjang yang menyentuh persoalan mendasar: reformasi DPR, penguatan KPK, transparansi keuangan negara, reformasi kepolisian, hingga keadilan ekonomi bagi pekerja dan rakyat kecil.
Namun, setelah lebih dari sebulan berlalu, pertanyaan yang menggantung di udara adalah “apa kabar 17+8 itu sekarang?” Rakyat sudah bersuara, tetapi sejauh mana suara itu benar-benar dijawab? Jika kita melihat perkembangan terbaru, memang ada beberapa langkah yang diambil pemerintah dan DPR, tetapi belum menyentuh substansi yang paling penting. Salah satu langkah yang cukup mencolok adalah keputusan DPR untuk menghentikan tunjangan perumahan bagi anggota dewan mulai 31 Agustus 2025, setelah sorotan publik yang luas terhadap besarnya fasilitas tersebut (nu.or.id). Selain itu, DPR juga memberlakukan moratorium kunjungan kerja luar negeri sejak 1 September 2025, kecuali untuk undangan resmi kenegaraan (sukabumiupdate.com).
Namun, masih banyak yang belum tersentuh. Pemerintah belum membentuk komisi independen untuk mengusut kekerasan aparat dalam aksi demonstrasi, padahal itu adalah tuntutan yang paling mendesak bagi keadilan korban. Pembebasan semua demonstran yang ditahan juga belum sepenuhnya tuntas, sebagian masih menghadapi proses hukum. Reformasi struktural DPR, penguatan KPK, serta perombakan sistem politik agar lebih transparan dan akuntabel masih sebatas wacana. Begitu pula dengan janji menata ulang kebijakan ketenagakerjaan dan perlindungan buruh rakyat belum melihat langkah konkret.
Dari sisi eksekutif, Presiden Prabowo menyatakan bahwa sebagian tuntutan rakyat memang masuk akal dan bisa dipenuhi, sementara yang lain masih perlu waktu karena bersifat normatif atau struktural. Pemerintah berjanji akan memilah mana tuntutan yang bisa segera ditindaklanjuti dan mana yang harus dibahas lebih panjang, sembari menjaga komunikasi dengan DPR dan lembaga terkait (detik.com).
Namun jika ditimbang, apa yang sudah dilakukan pemerintah masih lebih banyak menyentuh hal-hal simbolis ketimbang menyentuh substansi utama. Reformasi struktural DPR, pembentukan komisi independen untuk mengusut kekerasan aparat, dan penguatan lembaga hukum belum benar-benar bergerak. Rakyat bisa merasakan bahwa meski ada langkah-langkah awal, tuntutan 17+8 masih jauh dari terwujud sepenuhnya.
Jika pemerintah sungguh ingin meredam kekecewaan rakyat, mereka tidak bisa berhenti pada langkah kosmetik. Pemerintah perlu segera membentuk lembaga independen yang menelusuri kasus-kasus pelanggaran hak asasi dalam demonstrasi, membuka transparansi keuangan negara secara nyata agar rakyat tahu ke mana uang mereka dibelanjakan, serta menyusun peta jalan reformasi DPR dan partai politik dengan target waktu yang jelas. Lebih dari itu, pemerintah harus menghentikan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat, sebab kritik sejatinya bukan ancaman, melainkan vitamin demokrasi.
Di sisi lain, mahasiswa sebagai motor lahirnya 17+8 tidak boleh merasa tugas mereka sudah selesai. Tugas pengawalan tidak cukup dilakukan hanya lewat aksi jalanan. Mahasiswa perlu mengawal tuntutan ini secara sistematis, dengan riset, diskusi, dan publikasi yang mencerahkan masyarakat luas. Koalisi dengan buruh, petani, dan kelompok masyarakat lainnya harus terus diperkuat agar gerakan ini tidak terjebak dalam lingkaran kampus saja. Di era digital, mahasiswa juga dituntut untuk kreatif seperti kampanye media sosial, video edukatif, hingga infografis bisa menjadi senjata untuk menjaga agar tuntutan rakyat tidak padam.
Pertanyaan “apa kabar 17+8?” memang terdengar sederhana, tetapi jawabannya masih menyimpan rasa kecewa. Ada sedikit langkah dari pemerintah, namun belum ada gebrakan besar yang menjawab keresahan rakyat. Masyarakat masih menunggu, mahasiswa masih mengawal, dan sejarah akan mencatat: apakah pemerintah berani menjadikan 17+8 sebagai momentum perubahan, atau justru membiarkannya menjadi simbol kekecewaan yang tidak ditanggapi.
0 Komentar