Sidebar Ads

header ads

Apa yang Salah dari Ormawa Kita?


Gambar Pelantikan ORMAWA FMIPA UM Periode Tahun 2024

Organisasi mahasiswa (ormawa) seharusnya menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berkembang, mengasah keterampilan, dan memperluas jaringan. Namun, realitas yang terjadi justru membuat banyak mahasiswa bertanya-tanya: apakah ormawa masih relevan? Mengapa semakin sedikit mahasiswa yang tertarik bergabung? Apa yang sebenarnya salah dari ormawa kita?


Salah satu permasalahan terbesar adalah pergeseran fungsi ormawa yang kini lebih mirip event organizer kampus. Banyak organisasi mahasiswa yang hanya sibuk mengadakan seminar, lomba, dan festival tanpa memberikan dampak jangka panjang bagi anggotanya. Memang, acara-acara ini penting sebagai wadah kreativitas dan eksistensi organisasi. Namun, jika hanya terjebak dalam rutinitas menggelar event tanpa membangun kaderisasi dan pengembangan diri anggota, maka peran ormawa menjadi dangkal. Seharusnya, ormawa bukan hanya tentang siapa yang bisa membuat acara paling megah, melainkan bagaimana organisasi tersebut bisa mencetak mahasiswa yang kritis, inovatif, dan memiliki kepemimpinan yang kuat.


Selain itu, banyak ormawa minim kegiatan yang benar-benar meningkatkan soft skill anggotanya. Salah satu alasan mahasiswa bergabung dengan organisasi adalah untuk mengasah keterampilan seperti komunikasi, kepemimpinan, problem-solving, dan kerja tim. Namun, dalam praktiknya, banyak anggota justru merasa “tidak mendapatkan apa-apa” setelah bergabung. Mereka hanya disibukkan dengan rapat tanpa arah, mengurus acara tanpa memahami manfaatnya, atau malah hanya menjadi penggembira tanpa diberi ruang untuk berkembang. Jika kondisi ini terus berlanjut, tidak heran jika mahasiswa lebih memilih kegiatan lain yang lebih jelas manfaatnya.


Tidak hanya itu, banyak ormawa yang enggan beradaptasi dengan perkembangan zaman sehingga kalah bersaing dengan program lain seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program-program seperti MBKM, magang, dan pelatihan bersertifikat menjadi lebih menarik bagi mahasiswa karena menawarkan manfaat konkret: pengalaman kerja, sertifikat, hingga rekognisi SKS. Sementara itu, banyak ormawa masih terjebak dalam pola kerja yang kaku dan monoton tanpa memberikan nilai tambah yang jelas. Jika ormawa ingin tetap relevan, mereka harus mampu beradaptasi.


Selain masalah internal, kurangnya apresiasi dari pihak kampus terhadap mahasiswa yang aktif di ormawa juga menjadi faktor yang memperburuk keadaan. Mahasiswa yang sudah mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan akademiknya demi menjalankan organisasi sering kali tidak mendapatkan pengakuan yang setimpal. Berbeda dengan program MBKM yang mendapat rekognisi dalam bentuk SKS atau sertifikat, kontribusi mahasiswa dalam ormawa sering dianggap sebagai “pilihan pribadi” tanpa penghargaan konkret. Akibatnya, semakin banyak mahasiswa yang enggan aktif di ormawa karena merasa tidak ada keuntungan nyata yang mereka dapatkan. Seharusnya, kampus bisa memberikan apresiasi yang lebih jelas, seperti pengakuan SKS, beasiswa bagi mahasiswa aktif di organisasi, atau program insentif lain yang bisa menjadi daya tarik bagi mahasiswa untuk tetap berorganisasi.


Jika ormawa ingin tetap eksis dan relevan, maka perlu ada perubahan besar dalam cara kerja dan pola pikir. Reformasi pola kaderisasi harus dilakukan agar tidak hanya fokus pada perekrutan dan penyelenggaraan acara, tetapi juga pada pengembangan keterampilan anggota. Selain itu, program yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa saat ini perlu diterapkan, misalnya dengan menyediakan kegiatan yang berbasis proyek nyata. Ormawa juga harus meningkatkan nilai tambah bagi anggotanya dengan menyediakan pelatihan yang benar-benar bermanfaat, seperti manajemen proyek dan networking dengan profesional. Tak kalah penting, kampus perlu didorong untuk memberikan apresiasi lebih besar bagi mahasiswa yang aktif dalam organisasi.


Ormawa bukan sekadar tempat untuk mencari kesibukan, melainkan wadah bagi mahasiswa untuk berkembang. Jika tidak ada perubahan signifikan, maka bukan hal yang mustahil jika ormawa hanya akan menjadi nama tanpa makna—ditinggalkan oleh mahasiswa yang lebih memilih jalan lain untuk berkembang. Jadi, masihkah kita ingin mempertahankan ormawa dalam bentuknya yang sekarang? Atau sudah saatnya kita melakukan perubahan?



Penulis: Dika Brian Putra Wiyana, 08 Februari 2025

Posting Komentar

2 Komentar