Ketika Media Pergi, Siapa yang Tetap Bertahan?
Banjir dan Longsor Aceh–Sumatera dalam Pola Krisis yang Terus Berulang
Sumber: detik.com
Banjir dan longsor yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah di Sumatera pada akhir 2025 sempat memenuhi ruang pemberitaan. Gambar rumah terendam, evakuasi darurat, bantuan dari pemerintah dan masyarakat serta angka korban yang memenuhi linimasa. Namun seperti banyak peristiwa sebelumnya, perhatian itu tidak bertahan lama. Ini disebabkan oleh pola yang selalu sama yang tidak lain meliputi bencana datang, sorotan memuncak, lalu isu lain mengambil alih. Pada kenyataannya dampak bencana tetap tinggal, tanpa kamera, tanpa headline.
Artikel ini mengulas bagaimana banjir serta longsor di Aceh dan Sumatra diperlakukan sebagai isu sementara dalam pemberitaan media. Pembahasan ini menegaskan bahwa hilangnya sorotan publik berdampak langsung pada melemahnya tuntutan tanggung jawab terhadap pihak-pihak yang memiliki kewenangan lebih besar dalam pengelolaan risiko bencana dengan menelusuri logika di balik cepatnya peralihan isu.
Menurut laporan kemanusiaan EN Situation Report per 13 Desember 2025 yang dirilis oleh Human Initiative, banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 1.006 orang, 217 orang dinyatakan hilang, 5.400 orang terluka serta 545.900 orang mengungsi. Laporan tersebut juga mencatat puluhan ribu rumah dan fasilitas publik mengalami kerusakan, menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu krisis kemanusiaan terbesar akibat bencana hidrometeorologi pada akhir 2025. Namun, angka sering berhenti sebagai statistik. Ia jarang diikuti dengan pertanyaan lanjutan seperti “mengapa skala kerusakannya sebesar ini, dan mengapa terus berulang?”
Narasi yang dominan di media kerap menyederhanakan bencana menjadi akibat hujan ekstrem. Namun, skala kerusakan yang terjadi tidak dapat dijelaskan oleh faktor alam semata. Dampak bencana membesar karena faktor manusiawi yang telah lama terakumulasi. Alih fungsi lahan dan deforestasi di wilayah hulu mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan, sehingga limpasan permukaan meningkat tajam. Di saat yang sama, perencanaan tata ruang yang lemah mendorong tumbuhnya permukiman di kawasan rawan banjir dan longsor, tanpa mitigasi risiko yang memadai. Sejumlah pakar lingkungan menegaskan bahwa degradasi ekosistem berperan sebagai “faktor propaganda” bencana, membuat hujan ekstrem yang seharusnya dapat dikelola berubah menjadi krisis kemanusiaan berskala besar, sebagaimana disorot dalam laporan The Jakarta Post. Dengan kata lain, bencana ini tidak sepenuhnya “alami”. Namun lahir dari keputusan-keputusan manusia yang jarang dipertanggungjawabkan secara serius.
Logika media bekerja dengan cepat, isu baru menggantikan isu lama. Dalam konteks ini, bencana memiliki “umur tayang” yang tidak panjang. Setelah fase darurat berlalu, perhatian publik ikut surut. Padahal justru setelah fase itu, persoalan yang lebih berat muncul. Pemulihan rumah dan infrastruktur yang lambat, pengungsian jangka panjang, hilangnya mata pencaharian, serta trauma sosial yang disorot media. Ketika isu bergeser, tekanan publik melemah. Ketika tekanan melemah, tanggung jawab pun mudah mengalami penurunan.
Pengalihan isu di media sering dianggap wajar, namun dalam konteks bencana, ia memiliki konsekuensi nyata. Isu yang tidak dibicarakan tidak diprioritaskan. Krisis yang tidak disorot dianggap selesai. Disinilah masalahnya, lupa bukan sekadar kelalaian, tapi bagian dari mekanisme yang membiarkan krisis berulang. Tanpa evaluasi struktural, bencana berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.
Siapa yang seharusnya bertahan?
Jika media berpindah, maka yang seharusnya tetap tinggal adalah ingatan publik, tekanan sosial, dan keberpihakan pada korban, bukan hanya pada narasi sesaat. Organisasi mahasiswa, masyarakat sipil, dan komunitas akademik memiliki peran penting untuk menjaga isu ini tetap hidup. Bukan sebagai drama, tetapi sebagai masalah struktural yang menuntut perubahan.
Banjir dan longsor Aceh dan Sumatera tidak hanya sekadar cerita tentang hujan dan tanah longsor. Ini merupakan cermin dari relasi manusia, kebijakan, dan lingkungan yang terus diabaikan. Ketika media pergi, pertanyaannya bukan siapa yang viral berikutnya melainkan siapa yang masih bertahan menghadapi dampaknya.


0 Komentar