Setiap bangsa memiliki luka, dan Indonesia tidak terkecuali. Namun, yang membuat sebuah bangsa tetap hidup bukanlah absennya kekalahan, melainkan kehadiran harapan. Kita masih menyimpan cita-cita yang telah lama ditanam: Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Cita-cita ini bukan sekadar slogan dalam dokumen negara, tetapi juga nyala kecil yang diwariskan dan terus dirawat oleh setiap generasi. Nasionalisme yang sehat seharusnya berfungsi sebagai pagar yang melindungi dan menjaga tanaman agar tumbuh dengan baik, bukan sebagai penghalang yang mengungkung dan membungkam.
Sayangnya, terlalu sering nasionalisme justru dipakai untuk membungkam perbedaan. Ia mengklaim diri sebagai satu-satunya bentuk cinta tanah air yang sah, dan siapa pun yang tidak sejalan dianggap sebagai pengkhianat. Padahal, nasionalisme yang dipaksakan untuk menjadi satu-satunya jalan yang benar justru akan membawa kita ke dalam jebakan. Sering kali, kita melihat bagaimana nasionalisme yang sempit bisa menjelma menjadi alat represi terhadap mereka yang berbeda pandangan. Padahal, nasionalisme yang sejati tidak menghalangi, melainkan melindungi dan menghargai keberagaman.
Di sisi lain, liberalisme hadir dengan premis yang sangat sederhana: kita berbeda. Sebagai manusia, kita tidak akan pernah sepakat seratus persen tentang apa yang benar dan salah, terutama soal agama, moralitas, atau bahkan siapa yang berhak mendapatkan subsidi negara. Oleh karena itu, liberalisme memberi ruang bagi perbedaan. Ruang untuk bersuara, ruang untuk salah, ruang untuk bertumbuh dan berkembang. Hak untuk memiliki pandangan yang berbeda dan untuk memilih jalan sendiri adalah hak dasar yang dijunjung tinggi dalam sistem ini.
Dari sini, lahirlah ide tentang meritokrasi, yaitu sebuah sistem di mana siapa pun, tanpa memandang asal-usul atau latar belakang keluarga, bisa naik kelas sosial, ekonomi, dan politik — selama memiliki kompetensi dan kapasitas. Setidaknya, itulah cita-cita dari sistem meritokrasi. Namun, kenyataan sering kali jauh dari ideal. Kompetisi bebas bisa jadi ilusi apabila garis start setiap orang tidak sama. Anak pejabat dan anak petani tidak berangkat dari titik yang setara. Inilah yang membuat meritokrasi menjadi lebih kompleks dan tidak selalu adil, terutama ketika ketimpangan ekonomi dan akses pendidikan membuat kesempatan tidak merata.
Indonesia, dengan segala keragamannya, sering kali dipandang sebagai anugerah sekaligus tantangan. Keragaman suku, bahasa, dan budaya seharusnya menjadi kekuatan yang memperkaya bangsa ini. Namun, ketika satu kelompok merasa berhak mendefinisikan “nasionalisme,” yang lain hanya menjadi penonton di tanah air mereka sendiri. Ketimpangan awal dalam akses dan peluang menyebabkan sistem yang seharusnya adil malah menjadi tempat persaingan yang tidak seimbang. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa diabaikan jika kita ingin mewujudkan negara yang lebih adil dan inklusif.
Nasionalisme yang bersinar ke dalam, yang hanya memandang satu pandangan sebagai yang sah, akan menutup pintu bagi keberagaman. Sebaliknya, nasionalisme yang bersinar ke luar akan menjadi jangkar yang menyatukan. Ia bukan hanya melindungi satu kelompok, tetapi merangkul seluruh perbedaan dan memastikan setiap orang dapat berkembang di tanah yang sama. Nasionalisme tidak boleh menjadi standar tunggal dalam hal bahasa, moralitas, atau cara mencintai tanah air. Sebaliknya, ia harus menjadi ruang yang memberi tempat bagi perbedaan itu untuk berkembang.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, kita harus menghadapi kenyataan bahwa nasionalisme dan liberalisme tidak bisa berdiri sendiri. Bayangkan kita sedang berenang di sungai yang deras. Arus yang mengalir membawa kita ke depan — itulah liberalisme yang menggerakkan, memberi ruang untuk ide-ide dan kompetisi. Tetapi, tanpa adanya kekentalan air yang menjaga kita tetap di jalur yang benar, kita akan kehilangan kendali dan hanyut. Di sinilah nasionalisme berperan: ia memberi kekentalan, menjaga arah, dan memastikan kita tetap di jalur yang benar.
Di dunia nyata, negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan Tiongkok bertindak berdasarkan kepentingan nasional mereka. Mereka tidak bermain dengan moralitas absolut, tetapi dengan kepentingan yang lebih pragmatis. Indonesia pun, jika ingin bertahan di tengah arus global, membutuhkan nasionalisme yang mengikat, menyatukan, dan melindungi. Namun, nasionalisme yang sehat tidak mengekang demokrasi; ia justru memupuknya. Ia menjaga hak bersuara dan memastikan bahwa kompetisi berlangsung secara adil, tanpa ada pihak yang tertinggal sejak awal.
Kita sering kali terlalu sibuk menguliahi rakyat sendiri, sampai lupa bahwa dunia di luar sana sedang terbakar. Isu-isu besar seperti perubahan iklim, konflik global, dan ketidakadilan ekonomi sedang membayangi kita. Indonesia harus bisa mengambil posisi yang lebih besar, menjadi pemecah masalah global, bukan sekadar pengamat. Nasionalisme bukan hanya soal bendera dan upacara, tetapi tentang bagaimana kita memosisikan diri dalam dunia yang tengah menghadapi tantangan besar.
Nasionalisme dan liberalisme bukan musuh bebuyutan. Keduanya adalah dua kutub yang saling melengkapi. Liberalisme menumbuhkan ide-ide dan kreativitas, sementara nasionalisme menjaga kestabilan dan melindungi ruang tersebut agar bisa berkembang dengan sehat. Keseimbangan antara keduanya adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya bebas dan adil, tetapi juga aman dan bersatu.
Nasionalisme yang sesungguhnya tidak boleh menjadi alasan untuk membungkam kritik, tetapi harus menjadi dasar untuk menjaga keberagaman dan kebebasan berbicara. Sebagaimana pepatah mengatakan, pagar tidak boleh makan tanaman — nasionalisme harus melindungi, bukan menghalangi.
0 Komentar