Sidebar Ads

header ads

Olah Rekam Pandang - Tasya Dea Amalia


OLAH REKAM PANDANG
Tasya Dea Amalia
Ibnu Athaillah berkata:
Kalau kamu tahu bahwa setan tidak pernah melupakanmu dan terus berupaya membinasakan kamu, maka kamu jangan lupa kepada Tuhan yang nasibmu berada dalam  kekuasaan-Nya.

Langit berjamak suasana dalam, senantiasa menemani riang yang tiba-tiba hilang. Gemintang malu-malu mengakui sebuah rasa lelah tertahan. Bersembunyilah awan pada balik tikar hitam. Juga mengangguklah bulan mengiyakan remahan sakitnya alam. Malam ini, semua tertunduk menyaksikan perubahan yang memaksa datang tanpa menyatakan pamit untuk pergi menghilang. Pandangan mengabur menyiksa batin sangat kepayahan. Lagu rintihan malam hanya terus saja mengalir terdesak gerakan angin tanpa dapat terdengar. Bukan masalah sebuah gendang telinga tak dapat berfungsi dengan benar jikalau berhadapan dengan hati saya terus saja menyalahkan ini dan itu. Mungkin benar adanya jika yang terasa tak ada yang lebih baik dari yang kemarin. Justru semakin memburuk, menyisakan derap tangis menyiksa kerongkongan.
Saya memang tak dapat mendengar. Menurut fungsi yang sebenarnya memang bukanlah itu yang dapat saya lakukan. Allah telah memberikan sebuah kemampuan yang adil bagi setiap makhluk ciptaan-Nya. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Maha Suci Allah yang telah menciptakan kepala-kepala manusia itu dengan beragam keahlian. Tentunya pemikiran yang dihasilkan akan berbeda setiap derap langkah kehidupan manusia. Begitulah adanya. Namun saya, yang ternyata adalah bagian hidup yang melekat pada kepala manusia inipun memiliki perbedaan pandangan. Allah memfungsikan saya untuk merekam pandang.
Saya tak pernah mengeluh akan manfaat saya bagi kehidupan. Sebab beginilah adanya saya. Semakin lama detik memakan jam setiap menitnya, saya bingung mengapa harus ada perbedaan? Bahkan di antara anggota badan manusia seperti saya. Hal inilah yang membuat saya sadar. Jikalau semua yang terlihat begitu damai, tak pernah benar-benar melakukan diam. Kami juga sering melakukan berdebatan...
***
Bersama manusia tuan, kami kembali dari jalan panjang perjuangan di negeri orang.
Denging klakson menggema dari pelataran jalan gemilang lapang dengan berjamak orang yang lalu lalang. Derap jantung terkembang menyamai jalan yang lunglang. Saya tetap bertugas seperti biasa meski cahaya mentari membakar kulit baju kelopak mata saya. Tak ada bisik yang mampu menggemakan langit untuk mengguyur hujan yang dingin. Tak apalah, walau dingin tak kunjung datang berganti dengan panas yang malang. Manusia tuan akhirnya beristirahat di bawah rindang cahaya mentari kesiangan. Dedaunan mengangguk paham dan mulai mengibas helai demi helai rambutnya untuk kesejukan manusia tuan. Sejak lama, saya sudah berada dalam kepala ini dan membantu manusia tuan untuk memandang.  Menemaninya melewati semua tantangan, tentang rekam yang harus dan tak harus terekam. Dan selanjutnya kepergian mengingatkan waktu untuk pulang.
Subhanallah... Allah telah memberi nikmat yang nyata.” Begitulah Manusia tuan ini. Beliau tak pernah mengeluh sekalipun badai dan angin brutal datang menendang kesabaran. Sesaat yang lalu, manusia tuan sempat terhenti di simpang tiga saat tiba-tiba ransel yang terkait di belakang vespa lenyap termakan misteri. Geram rasanya saya melihat ransel berharga tuan manusia kandas. Sebisa mungkin pandang mengitari sekitar halaman, barangkali ransel itu terjatuh atau terselip diantara lubang atau tumpukan batu. Saudaraku kaki ikut serta membantu, ia sedikit berjingkat supaya lekas berada di sisi yang lain. Berjam-jam berlalu demi sebuah jawab akan tanya, namun tak ada.
Manusia tuan tak ambil pusing tentang itu. Ia selalu mendengarkan kata hati dalam dekap sanubarinya. Lantas saya yang melihat banyak orang sebagai keraguan yang nyata, tak pernah ia hiraukan.
“ Lihat di sana manusia tuan. Saya yakin kau melihatnya, oleh karena saya ini adalah milikmu. Ayolah… jangan buang  waktu.” Selalu saya mengoceh tentang kepolosannya. Padahal jelas dalam suatu rumah makan di simpang tiga itu terdapat seorang manusia yang tengah duduk berpangku tangan melihat ke arah kami dengan sorot mata senang bukan main. Geram saya dibuatnya. Mata itu beradu dengan saya, seakan menantang apa yang bisa saya lakukan untuk membantu manusia tuan. Hangat sekali rasanya. Saya terus mengoceh denga mata orang di sana. Mereka sangatlah kompak.
“ Sudahlah... mata. Kau tak boleh berpikir semena-mena pada orang yang tak kau kenal. Bisa jadi bukan dia pelakunya.” Ucap hati menanggapi kegelisahanku.
“ Ah... hati, hati. Pantas saja kau tak pernah berlubang hitam, kau terlalu baik. Namun lihatlah mata itu, hati! Dia mengejek saya, mengejek kita.”
“ Jangan selalu su’udzan pada orang, mata. Apa yang kau lihat tak selamanya benar.”
“ Masa bodoh… saya salah atau benar. Tindakan mata dan manusia itu tak bisa dibiarkan. Jangan kau bantu manusia tuan untuk terlihat sabar.”
“ Mata… Lain kali kau harus belajar bijaksana. Lihatlah saudaramu bibir, ia lebih memilih diam dari pada menimbulkan masalah.” Kulihat saudara bibir, memang sedang bungkam. Tetapi saya tahu ia sama gelisahnya. Sedari tadi ia ingin mengatakan sesuatu yang selalu ciut di ujungnya.
“ Kau diam saja hati… jangan buat manusia tuan bertambah bimbang untuk menghampiri orang itu.” Saya masih terus mengadu hingga sampainya kami pada tempat ini. Perjalanan kami semula biasa-biasa saja. Manusia tuan mengemas barang dengan senang. Alangkah ujian datang layaknya sebilah pedang, menghunus tanpa ampun.
Manusia tuan masih terdiam sejak kejadian itu. Kini ia bersandar pada batang pohon mangga yang rindang. Menatap anyaman awan menggulung tebal. Saya terkedip-kedip. Saya dengar hati bergumam. Manusia tuan juga sedikit bergumam. Saudara saya, bibir bergerak-gerak juga. Saya dengar seksama, ternyata hati membimbing tuan manusia untuk berdzikir. Sungguh hati benar-benar mampu menahan amarah dan sedih yang membakar. Saya jadi ikut terdiam. Dengan perlahan saya  bawa tuan manusia dalam alam hayal. Saya tutup kelopak mata baju saya, lantas tak lama kami telah terlelap bersama. Dalam mimpi saya masih dapat mendengar hati berdzikir. Subhanallah... mengapa hati dapat sebegitu tenang.
***
Hutan besi menjulang tinggi menantang langit. Cakar-cakar keangkuhan mereka seolah tak mau berhenti menggores debu yang menekan hari hingga kesiangan. Menertawakan bangunan kumuh di bawahnya. Begitu congkak dan tak berperi “kebangunan”. Mereka biarkan bangunan kecil itu semakin tertindih ekonomi yang menginflasi, tak mau ampun memakan uang receh mereka. Berkricing-kricing di perut dan kantong-kantong raksasa. Berubah menjadi lembaran-lembaran ramping dan berkilau. Tak jarang uang receh sisa metamorfosis tak sempurna itu harus mengalami nasib sial. Terselip pada sisi saku paling dalam. Berkarat, menguning, bahkan sering kali membusuk.
Tuan manusia telah membawa kami berjalan sejauh lima kilo dengan berjalan kaki. Tanpa lelah ia menggendong kami sembari terus meminta ampun terhadap Allah SWT. Musibah seperti begu[1]. Benar-benar menyiksa batin dan pikiran. Sumpah serapah telah saya ucapkan atas apa yang terekam dalam pandangan setelah kelopak mata baju saya terbuka. Tuan manusia segera berjingkat dari lelapnya. Ia terengah-engah memegang dada. Astaghfirullah... vespa tuan manusia tak ada di tempat. Siapa yang berani menginjak gas sehingga menerjang vespa pergi. Malang nasib tuan manusia. Bertambah lama tuan manusia, bertambahlah pendiam dia. Amarah saya kali ini tersampaikan padanya. Dengan sekali hentakan ia pukul sebuah pohon di hadapannya. Namun tetap tak ada kata. Saudara bibir saya itu memilih bungkam. Ia memang tak seperti saya yang selalu mempunyai beragam pemikiran yang kritis tentang apa yang ada pada pandang. Terkadang saya juga berpikir, mungkin ini yang membuat manusia tuan terkenal sebagai orang yang pendiam.
“ Pastilah ini pencuri yang tadi. Ia sengaja mengikuti kita dan mengincar vespa tuan manusia. Bagaimana ini? Saya tak tega.” Sergah saya bersemangat.
“ Sudahlah... mata. Kau diamlah dulu. Jangan buat tuan manusia bimbang dibuatnya. Barang kali ini hanyalah sebuah kesalahan. Memang vespa itu tak ada saat ini, tetapi mngkin ada yang meminjamnya. Tunggulah sebentar lagi.”
“ Kau hati. Jangan selalu mengandalkan perasaan tentang sesuatu yang terjadi. Jelas-jelas saya tak melihat ada vespa di sini. Saya yang melihat, bukan kau. Tentu saja kau bisa berkata seperti itu. Sadarilah jika ini harus segera diatasi. Kasihan tuan manusia. Jangan buat ia hanya terdiam di sini dengan memandang atas saya kekosongan yang bolong. Saya tak tahan.” Amarah saya menjadi karenanya. Sejak lama saya dan hati tak pernah sepaham.
“ Maafkan saya mata. Saya hanya ingin membantu tua manusia. Biarlah kita serahkan semua pada Allah. Pastilah ada jalan-Nya.”
Saya berputar-putar menanggapi hati. Mungkin tuan manusia sedikit bingung, namun saya tak perduli. “Ini bukanlah tentang serah berserah hati, Allah juga tak akan berkehendak jika kita tak mau berusaha. Jadi berhentilah berdebat dengan saya dan bantu saya membangkitkan semangat tuan manusia agar pergi mencari sebuah jawaban atas kehilangan yang bertubi-tubi ini.”
 Alhamdulillah… Allah kembali menguji saya.” Suara parau disertai tangis tertahan manusia tuan mengiringi gerakan bibir yang ragu-ragu untuk katakan. Sembilu mengiris hati banyak orang. Cukup mendengar kata manusia tuan, kami sontak tertunduk. Saya yakin bahwa bukanlah saudara bibir yang berkata, melainkan terlontar jujur dari perasaan manusia tuan.
  Hati terdiam. Saya hendak menegurnya, tetapi tak kuasa. Mungkin ia berpikir apa yang saya katakan ada benarnya. Hati terlalu bertawakkal pada Allah, namun melupakan ikhtiar yang nyata. Allah juga tak mau membantu jika hanya terdiam dengan terus berdoa tanpa sekalipun melakukan tindakan. Selayaknya ikhtiar tanpa doa adalah sombong, sedang doa tanpa ikhtiar adalah bohong. Ah... dari mana kata-kata bijak itu berasal. Sebab terlalu sering saya berdebat dengan hati, saya bertambah bijak saja.
***
 Angin menari melihat kegamangan alam pada suatu malam yang terasa lebih panjang. Bulan bersembunyi di antara malam. Tak biasanya ia terlihat begitu ketakutan. Bintang sendiri merasakan badannya menghilang. Bukan...!!! sinarnya melayang bersama rintik hujan yang baru saja menyerang. Jalanan ibu kota merangsek kesepian. Mobil-mobil kendaraan telah lama kembali pada sarang. Mengerang seharian membuatnya sedikit kelelahan. Tak ada yang menyadarinya. Berada pada sisi paling gelap suatu daerah di bawah jembatan. Suara teriakan parau itu, melanglang buana pada seantero suasana gamang. Dipeluk dengan dekap seorang manusia yang terus berusaha untuk melalap asa yang mencekik. Menyadari ketidakmampuan seorang manusia.
Sampailah kami pada sebuah rumah sederhana dengan pelataran rumput hijau yang luas. Tuan manusia telah kembali mendapat ketenangan. Hati mengajaknya terus berdzikir atas apa yang terjadi. Memasuki halaman saya tak tahan menahan tangis. Saya tak bermaksud membasahi pipi wajah manusia tuan. Saya yang tahu, yang sebenarnya inilah yang tuan manusia inginkan. Begitu sampai di depan pintu, tuan manusia mengucap salam. Dengan sebilah saudara tangan, tuan manusia menyeka pandang dan airmata berlinang. Tak lama, terbukalah pintu rumah hingga menyeruakkan seorang gadis rupawan berkerudung merah panjang.  Saya dan mata gadis mata itu saling pandang sejenak, tersipulah saya dibuatnya. Mata belok yang hitam, mengajak saya mengingat kenyamanan saat pertama kali bertali kenal. Gadis pemilik mata itu bernama Maryam, kekasih sekaligus istri manusia tuan.
Allahu Akbar... abi sudah datang?” Ia berhambur pada peluk dekap manusia tuan. Saya kembali terharu. Mereka bercakap-cakap kemudian. Pasangan yang lama tak jumpa jua sebab manusia tuan harus bekerja di negeri seberang, melayangkan segenap rindu yang mendalam. Mata gadis itu selalu memandang saya dengan kuat, seolah tak akan meninggalkan saya dengan tali kasih sayang. Tak dapat dipungkiri, saya juga rindu mata gadis itu.
Abi... mengapa lama sekali? Maryam tak terdengar suara vespa abi. Oh, abi meninggalkannya di kota ya?
Usaha telah dilakukan, bahkan keyakinan telah dikerahkan. Semua senjata telah diluncurkan agar dapat tercipta sebuah jawaban. Manusia tuan menjelaskan apa yang mendera kami disepanjang jalan. Saya tak mencoba tuk lupa tentang rupa laki-laki tadi. Sebisa mungkin saya dengarkan nasihat hati. Berburuk sangka, memanglah tak baik. Manusia tuan saja mengerti dan bersabar. Mengapa saya sebagai bayang tak mau tenang?
 Mata Maryam terkejut mendengarnya, ujian yang datang bukanlah sembarang. Allah menguji manusia tuan pulang dengan tangan kerompang. “ Maafkan abi... perjuangan panjang tak ada hasil yang dapat dibawa pulang.” Manusia tuan tertunduk. Saya paham kesedihan yang menyerang. Hati ikut terisak di dalam. “ Kau dengar hati! Sebenarnya saya menyayangkan hal seperti itu dapat terjadi. Kau tahu, saya adalah perekam pandang. Saya tak akan tahan jika harus mrngulang kejadian menyedihkan itu pada manusia tuan.”
“ Aku paham, mata. Saya sebagai hati juga ikut teriris tipis jika sampai kau menguraikan air mata sebab kesedihan yang di rasa manusia tuan.”
“ Tolong untuk selanjutnya kita saling mengingatkan!” Kulihat hati mengangguk. Kami akhirnya berbaikan setelah sekian lama.
“ Tak apa.” Jawab Maryam akhirnya. Saya lihat matanya tak sekalipun terguncang. Justru senyum terkembang membalas kegelisahan.
“ Yang terpenting abi, selamat pergi hingga pulang. Masalah uang tak perlu dipikirkan. Saya tak masalah.”
Kesempurnaan cinta tak ada yang tahu rimbanya. Hanya segelintir manusia yang dapat menggenggam sakinah, apalagi dapat mawadah menuju warahmah. Kesabaran adalah sebuah kunci. Saya, seorang mata yang selalu merekam pandang memang masih terus memperhatikan. Saya memang selalu berpikir kritis yang mendatangkan sebuah pemikiran nakal, selayaknya su’udzan telah memakan pemahaman. Beruntunglah ada hati yang mengingatkan. Perdebatan memang terjadi namun tak ada yang sakit hati. Kembali kami akan saling mengingatkan.
Sebangsa mata dan hati manusia tuan-tuan tentulah memiliki sisi kepribadian yang jarang berkesamaan. Saya tak heran jika sifat manusia tuan-tuanpun ikut berlainan. Masalahnya bukan mata dan hati siapa? Namun yang benar adalah keimanan dan ketakwaan siapa. Sebabnya kepribadian seseorang tercipta. Saya bukanlah mata sempurna yang terkadang merekam hal yang dilarang pandang, juga bukanlah hati yang selalu terlihat bijak tanpa cacat yang terkadang juga mengguncing dalam diam. Begitulah hakikat makhluk Allah SWT bernafsu. Kami hanya bisa berusaha, dengan cahaya ihsan dan islam pembimbing menuju kesucian, kedamaian dan ketakwaan pada Maha Satu, Allah SWT.

Selasa, 12 Maret 2019
Disunting ulang -  kamis, 04 Juni 2020
Rekam ulang.


Salam Pergerakan

Wallahul Muwafieq Ilaa Aqwamith Tharieq
Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


[1] Begu: hantu

Posting Komentar

0 Komentar